Kamis, 26 Februari 2015

Sang Pejuang Batas Maritim

(Sumber: madeandi.com)

“Dari Sabang sampai Merauke tersusun pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia” begitulah salah satu lagu nasional yang menggambarkan bahwa negara kita ini merupakan negara yang tersusun dari begitu banyak pulau-pulau. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pulau terbanyak, disebutkan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan. Istilah negara kepualauan tersebut muncul ketika Deklarasi Djuanda disetujui dalam United Nations Convention On the Law Of the Sea (UNCLOS) yang ketiga tahun 1982. Deklarasi Djuanda juga menjadi cikal bakal wawasan nusantara yang memandang wilayah Indonesia terdiri dari laut, darat, dan udara.

Perjuangan Archipelagic Principle

Pada awalnya, Indonesia yang merupakan negara “bekas jajahan” Belanda menganut sistem laut teritorial 3 mil dari garis pangkal setiap pulau. 3 mil tersebut merupakan jarak terjauh tembakan meriam. Sehingga jika ada 2 pulau dengan jarak lebih dari 6 mil, maka laut diantaranya merupakan laut internasional yang berarti laut tersebut bebas dilalui oleh semua negara. Mengingat bahwa wilayah kedaulatan Indonesia tersusun atas ribuan pulau, sistem laut teritorial 3 mil tersebut di rasa dapat membahayakan kedaulatan Indonesia. Perdana menteri Djoeanda Kartawidjaja mengusulkan para diplomatnya yakni Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman (Surveyor), Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda untuk berunding mengenai klaim Indonesia mengenai kawasan laut di antara pulau-pulau Indonesia menjadi perairan Indonesia dan merupakan bagian kedaulatan Indonesia di Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Mereka adalah para pejuang batas maritim Indonesia.

Deklarasi Djuanda tersebut harus melewati proses negosiasi yang alot selama 9 tahun untuk dapat diterima oleh semua negara. Salah satu gagasan yang muncul dalam proses negosiasi itu adalah Archipelagic Principle yang diusung oleh Mochtar Kusumaatmadja. Selain itu, peraturan mengenai laut teritorial meluas menjadi 12 mil dari garis pangkal pulau dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) menjadi 200 mil. Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III). Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB.
(Sumber: madeandi.com)

Syarat suatu negara kepulauan dapat mengklaim wilayah lautnya menjadi bagian dari kedaulatan adalah jika luas total daratan berbanding luas perairan sama dengan 1:1 hingga 1:9. Artinya jika luas total daratan 1000 m2 maka luas perairan juga harus 1000 m2 atau 9000 m2. Dengan disetujuinya Deklarasi Djuanda, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai jalur pelayaran bebas di wilayah perairan Indonesia yang boleh dilalui oleh kapal negara lain. Hal tersebut perlu dilakukan karena sebagai negara dunia, Indonesia juga harus tetap memikirkan kepentingan negara lain untuk memberikan kemudahan akses melalui pelayaran perairan. Jalur yang dibuat berupa koridor dengan lebar 25 mil ke kanan dan 25 mil ke kiri dari garis jalur. Sebenarnya ALKI tersebut tidak wajib dibuat, namun jika Indonesia tidak memberikan jalur pelayaran (ALKI) maka semua negara bebas melalui perairan Indonesia. Hal itu sudah disepakati dalam perundingan UNCLOS III. Sejauh ini, Indonesia baru mengajukan 3 ALKI dari Utara-Selatan dan belum ada ALKI dari arah Barat-Timur.
(Sumber: madeandi.com)

Batas Maritim dengan tetangga sebelah?

Berdasarkan UNCLOS III, tidak hanya negara kepulauan yang mendapatkan hak atas laut teritorial 12 mil dan ZEE 200 mil dari garis pangkal atau garis pantai, tapi semua negara juga mendapatkan hak yang sama. Perbedaannya adalah letak garis pangkal pada negara kepulauan terhitung dari pulau-pulau terluar sedangkan negara lain terhitung dari masing-masing pulau. Lalu bagaimana jika jarak antar negara tidak lebih dari 400 mil yang berarti ada wilayah laut ZEE yang tumpang tindih? Perlu dilakukan penetapan batas maritim antar negara tersebut sesuai dengan peraturan pada UNCLOS III. Indonesia sudah mulai menetapkan batas maritim sejak tahun 1969 dengan Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Sejak itu, beberapa batas maritim juga disepakati dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, Australia,  dan Filipina, meskipun belum tuntas. Sementara itu belum ada batas maritim yang disepakati dengan Palau dan Timor Leste.
(Sumber: madeandi.com)

Implikasi Wawasan Nusantara terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Wawasan nusantara yang menyebutkan bahwa wilayah negara terdiri atas daratan termasuk tanah di bawahnya, perairan dan tanah di bawahnya, serta ruang udara memunculkan pertanyaan sampai dimana wilayah negara kita? Untuk menjawab hal itu maka perlu dilakukan penetapan batas wilayah baik di daratan maupun di laut (batas maritim). Indonesia sebagai negara kepulauan sesuai dengan Deklarasi Djuanda memiliki batas laut berupa hak laut teritorial 12 mil, ZEE 200 mil dan landas kontinen dari garis pangkal pulau-pulau terluar. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa diperlukan adanya penetapan batas maritim antara negara yang memiliki ZEE atau landas kontinen yang saling tumpang-tindih, ini menyebabkan keberadaan pulau-pulau terluar Indonesia menjadi garda terdepan dan pintu gerbang negara.

Masih ingat sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan? Kedua pulau tersebut menjadi “rebutan” antara Indonesia dan Malaysia. Terdapat berbagai versi cerita mengenai sengketa tersebut, yang saya ketahui kedua pulau tersebut tidak tergambar di peta nasional Indonesia dan Malaysia, ketika hal itu disadari oleh kedua negara, maka pulau-pulau tersebut diperebutkan dan mendapatkan status Quo. Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan pemahaman mengenai satus Quo tersebut, pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Hingga pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.


Kehilangan tersebut sangat merugikan bagi Indonesia karena mengakibatkan perubahan batas maritim dan secara otomatis daerah kedaulatan negara Indonesia juga berkurang. Untuk itu, pengelolaan wilayah pesisir di pulau-pulau terluar Indonesia sangatlah penting. Sejauh ini pemerintah telah berusaha untuk memaksimalkan potensi pulau-pulau terluar tersebut antara lain dengan inventarisasi beserta pemberian nama pulau-pulau tersebut. Indonesia masih memiliki ribuan pulau yang belum bernama. Selain itu, juga dengan membuat kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan tata ruang dan Pengelolaan Wilayah Pesisir di pulau-pulau terluar Indonesia. Pembangunan satu mercusuar saja di suatu pulau terluar dapat menyelamatkan wilayah kedaulatan NKRI. Jangan sampai kejadian Pulau Sipadan dan Ligitan terulang kembali. Jangan kita sia-siakan perjuangan para pejuang batas maritim!

Rizki Iman Sari (12/333727/TK/40070)
TGD 12 UGM
Nb:
Tulisan ini dalam proses pembelajaran. Jika ada kesalahan mohon untuk menginggalkan komentar dan koreksi.

Referensi:

  1. I Made Andi Arsana, "Memagari Laut Nusantara: Penetapan Batas Maritim Indonesia untuk Mendukung Kedaulatan dan Hak Berdaulat NKRI"
  2. Ayub Torry Satriyo Kusumo, "Optimalisasi Pengelolaan dan Pemberdayaan Pulau-Pulau Terluar Dalam Rangka Mempertahankan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia"
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan
  4. https://sejarawanmuda.wordpress.com/2012/12/13/hari-nusantara-deklarasi-djuanda/

Sabtu, 21 Februari 2015

UU No. 27 Tahun 2007 direvisi?


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Badan Informasi Geospasial (BIG) mencatat negara Indonesia memiliki 13.466 pulau pada tahun 2014 dan memiliki wilayah pesisir sekitar 95.161 kilometer sehingga tak heran jika 60% masyarakat Indonesia hidup dan beraktivitas dikawasan pesisir. Hal tersebut menunjukkan bahwa wilayah pesisir merupakan daerah penting bagi masyarakat Indonesia. Maka dari itu, dibuatlah Undang-Undang yang mengatur tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-PPK) yakni UU No.27 Tahun 2007.

UU No. 27 Tahun 2007 (UU PWP-PPK) yang disahkan oleh DPR RI pada tanggal 26 Juni 2007 kemudian mendapatkan gugatan dari 9 organisasi masyarakat sipil dan 27 nelayan tradisional. Gugatan tersebut dimotori oleh organisasi KIARA (Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan). Penggugat merasa bahwa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir atau biasa disebut HP-3 yang diatur di dalam UU PWP-PPK bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan diperggunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam UU PWP-PPK menyebutkan bahwa HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yng mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. HP-3 dapat menyebabkan privatisasi sehingga berpotensi terjadinya pengusiran kepada nelayan, hal tersebut yang menjadi kekhawatiran para nelayan.

Selain itu, HP-3 dapat dijadikan jaminan hutang dengan jaminan fidusia sehingga berpotensi terjadinya kriminalisasi dan jual-beli hak. Subyek dari HP-3 adalah orang perseorangan warga Negara Indonesia, badan hukum dan masyarakat adat (Pasal 18 UU No. 27 Tahun 2007). Hal tersebut yang menyebabkan UU No. 27 tahun 2007 direvisi menjadi UU No.1 Tahun 2014 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Ada tiga pokok bahasan yang diubah dalam UU PWP-PPK, yakni 1. Penghapusan seluruh pasal yang berkaitan tentang HP-3 dan digantikan menjadi sistem perizinan, 2. Pengalihan pengelolaan kawasan konservasi laut yang selama ini dikelola oleh Kementrian Kehutanan (Kemenhut) kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan 3. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan perencanaan pengelolaan perairan pesisir. Selain itu 3 pokok hal tersebut, perubahan dibeberapa pasal terjadi dengan tujuan untuk memperbaiki ejaan dan makna untuk penegasan terhadap sesuatu yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Berikut adalah daftar perubahan dan pasal-pasal yang mengalami perubahan dari UU No. 27 Tahun 2007 pada UU No. 1 Tahun 2014:

  1. Pada pasal 1 mengalamai 14 perubahan ayat/angka dan 2 tambahan ayat/angka dari 44 angka/ayat. Yang berubah adalah angka 1, angka 17, angka 18,  angka  19,  angka 23, angka 26, angka 28,  angka 29,  angka 30,  angka 31,  angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44. Sedangkan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan  1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27  dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27APerubahan pada pasal 1 berisi tentang definisi-definisi yang berkaitan dengan pengolahan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
  2. Pasal 14 terdapat 2 perubahan ayat dari 7 ayat yakni ayat 1 dan ayat 7. Perubahan tersebut mengenai subyek yang berhak ikut serta dalam perencanaan RSWP-3-K, RZWP-3-K,  RPWP-3-K, dan  RAPWP-3-K.
  3. Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu Izin. Perubahan ini terjadi karena pada Bab V UU No. 27 Tahun 2007 membahas tentang HP-3 sehingga seluruh isi Bab V dilakukan perubahan. Bab V terdiri dari pasal 16 sampai pasal 22.
  4. Pasal 16 mengalami perubahan seluruhnya dari 2 ayat.
  5. Pasal 17 mengalami perubahan seluruhnya menjadi 4 ayat.
  6. Pasal 18 mengalami perubahan seluruhnya dari 1 ayat
  7. Pasal 19 mengalami perubahan seluruhnya dari 3 ayat.
  8. Pasal 20 mengalami perubahan seluruhnya menjadi 2 ayat.
  9. Pasal 21 mengalami perubahan seluruhnya menjadi 2 ayat.
  10. Pasal 22 mengalami perubahan seluruhnya menjadi 2 ayat.
  11. Penambahan pasal antara Pasal 22 & 23. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 3 (tiga) pasal,  yakni Pasal 22A, Pasal 22B,  dan Pasal 22C. Pasal tersebut membahas mengenai subyek Izin Pengelolaan dan tata cara yang berkaitan untuk mendapatkan izin tersebut.
  12. Pasal 23 mengalami perubahan seluruhnya menjadi 3 ayat dari 7 ayat. Ayat yang bersangkutan dengan HP-3 dihapuskan. Pasal ini membahas tentang aturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya.
  13. Penambahan pasal antara Pasal 26 & 27. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A. Pasal ini mengatur tentang penanaman modal asing untuk pemanfaatan perairan pulau-pulau kecil dan perairan.
  14. Pasal 30 mengalami perubahan seluruhnya dengan menambah 4 pasal. Pasal ini membahas mengenai fungsi zona.
  15. Pasal 50 mengalami perubahan seluruhnya dari 3 ayat. Pasal ini mengatur tentang subyek yang berhak memberikan izin pengelolaan.
  16. Pasal 51 mengalami perubahan seluruhnya dari 2 ayat. Pasal ini membahas tentang penetapan dan pencabutan izin pengelolaan.
  17. Pasal 60 mengalami perubahan seluruhnya dari 2 ayat. Di dalam pasal ini mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  18. Pasal 63 ayat 2 mengalami perubahan dari total 4 ayat yang terdapat pada pasal ini. Pasal ini mengatur tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk mendorong kegiatan usaha masyarakat.
  19. Pasal 71 mengalami perubahan seluruhnya. Pasal ini mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran izin pengelolaan.
  20. Pasal 75 mengalami perubahan seluruhnya. Pasal ini mengatur tentang sanksi pidana dan denda jika ada pelanggaran terhadap izin pengelolaan.
  21. Penambahan pasal antara Pasal 75 & 76. Di antara Pasal 75 dan Pasal 76 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 75A yang mengatur tentang sanksi pidana dan denda terhadap orang atau badan hukum yang tidak memiliki izin pengelolaan.
  22. Penambahan pasal antara Pasal 78 & 79. Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 78A dan Pasal 78B penyesuaian izin dan kawasan konservasi yang sudah berjalan sesuai Undang-Undang sebelumnya.

Pada UU No. 1 Tahun 2014 hanya berisi pasal-pasal yang mengalami perubahan dari UU No. 27 Tahun 2007 sedangkan pasal yang tidak mengalami perubahan tidak dicantumkan sehingga dalam menilik UU PWP-PPK perlu membuka dua UU sekaligus yakni UU No. 27 Tahun 2007 dan revisinya yakni UU No. 1 Tahun 2014.

Rizki Iman Sari (12/333727/TK/40070)
Catatan:
  1. Tulisan ini masih dalam proses pembelajaran. Jika ada kesalahan pada tulisan ini mohon untuk meninggalkan komentar dan koreksi.
  2. Tulisan ini mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 http://www.bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/3.pdf dan UU No 1 Tahun 2014 http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-1-tahun-2014-4280