Jumat, 25 Desember 2015

HEBOH BATAS MARITIM DI MEDIA SOSIAL


Warisan berharga merupakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi dan letak geografis Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki laut yang luas hingga 75% dari luas negara dan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Hal itu membuat Indonesia menyandang predikat sebagai negara bahari. Kata maritim mulai muncul dan sering dibicarakan setelah terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden Indonesia tahun 2014. Jokowi, begitu panggilan akrabnya, mengusung visi misi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Poros maritim dunia yang dimaksud adalah Indonesia yang memiliki letak geografis strategis dalam jalur pelayaran dunia harus mampu memanfaatkan dan mengelola laut dengan sebaik mungkin. Seiring dengan upaya kabinet Jokowi mewujudkan visi misinya, perhatian masyarakat mulai terpaku pada batas maritim Indonesia.
Isu batas maritim mulai hangat dibicarakan setelah adanya peledakan kapal asing pencuri ikan di perairan wilayah Pulau Anambas. Peledakan tersebut merupakan perintah langsung dari Menteri Kelautan dan Perikanan kabinet Jokowi, Susi Pudjiastuti, sebagai salah satu upaya menjaga kedaulatan NKRI. Opini masyarakat bermunculan atas peledakan tersebut dan menyebabkan pemberitaan mengenai batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga kembali bermunculan.
Kebebasan dalam berpendapat dalam media sosial memberikan efek pada pemberitaan batas maritim. Isu batas maritim menjadi hiperbolis, bahkan opini yang kurang berlandaskan pada fakta menyebar luas. Hal itu menyebabkan rancunya informasi yang diserap oleh masyarakat umum mengenai kondisi batas maritim Indonesia yang sebenarnya. Sebagai contoh kasus sengketa Ambalat antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun silam. Akibat pemberitaan yang kurang tepat, masyarakat menjadi emosi dan menyatakan keinginan untuk perang melawan Malaysia. Beberapa masyarakat bahkan berniat untuk pergi ke Ambalat demi memperjuangkan kedaulatan. Sayangnya Ambalat merupakan kawasan penambangan dan pengelolaan minyak yang terletak di dasar laut.
Kasus lain yang sempat menghebohkan adalah isu tentang Indonesia kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan yang direbut oleh Malaysia. Isu tersebut tak kalah menggemparkan masyarakat dan membuat opini masyarakat ke Malaysia menjadi negatif. Hal tersebut mungkin saja merugikan pihak-pihak tertentu akibat opini masyarakat. Berdasarkan fakta yang diberikan oleh diplomat Indonesia, Arief Havas Oegroseno, Indonesia tidak kehilangan Pulau Sipadan dan Liditan melainkan gagal menambahkan kedua pulau tersebut.
Selain pemberitaan mengenai kasus sengketa, pemberitaan mengenai batas maritim dengan negara tetangga yang belum terselesaikan hingga saat inipun mencuat. Pemberitaan-pemberitaan tersebut mengangkat tentang leletnya kinerja pemerintah dalam melakukan penetapan batas maritim sehingga memicu munculnya sengketa. Pada teorinya, tahapan penetapan batas matirim terbagi menjadi 4 yakni alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi menejemen. Dari keempat tahapan itu, pemerintah yang berwenang berperan aktif dalam tahap alokasi. Tahap alokasi merupakan tahap penentuan batas secara politis dengan cara diplomasi antar negara. Diplomasi tersebut yang memerlukan waktu yang tidak menentu karena tergantung kepada keputusan masing-masing negara. Tahap alokasi tidak akan selesai sebelum kedua negara menemui kata sepakat dalam menentukan batas wilayah.

Pemberitaan tentang batas maritim yang salah di media sosial dapat merugikan. Maka dari itu masyarakat Indonesia harus lebih berhat-hati dalam menerima informasi. Selektif dalam menelan informasi dan disarankan untuk mengambil informasi dari situs yang terpercaya. Jangan sampai kebebasan media sosial membahayakan masyarakat akibat opini yang terbentuk.

Note:
Artikel ini adalah opini pribadi untuk kepentingan tugas kuliah. jika ada kesalahan atau menyinggung pihak tertentu. Terimakasih

Senin, 07 Desember 2015

Secuplik Proses Batas Maritim Indonesia


Pada awalnya, Indonesia yang merupakan negara “bekas jajahan” Belanda menganut sistem laut teritorial 3 mil dari garis pangkal setiap pulau. Mengingat bahwa wilayah kedaulatan Indonesia tersusun atas ribuan pulau, sistem laut teritorial 3 mil tersebut di rasa dapat membahayakan kedaulatan Indonesia. Perdana menteri Djoeanda Kartawidjaja mengusulkan para diplomatnya yakni Mochtar Kusumaatmadja, Hasjim Djalal, Adi Sumardiman (Surveyor), Nugroho Wisnumurti, Budiman, Toga Napitupulu, Zuhdi Pane, Nelly Luhulima, Hardjuni, dan Wicaksono Sugarda untuk berunding mengenai klaim Indonesia mengenai kawasan laut di antara pulau-pulau Indonesia menjadi perairan Indonesia dan merupakan bagian kedaulatan Indonesia di Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Deklarasi Djuanda tersebut harus melewati proses negosiasi yang alot selama 9 tahun untuk dapat diterima oleh semua negara. Salah satu gagasan yang muncul dalam proses negosiasi itu adalah Archipelagic Principle yang diusung oleh Mochtar Kusumaatmadja. Selain itu, peraturan mengenai laut teritorial meluas menjadi 12 mil dari garis pangkal pulau dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) menjadi 200 mil. Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III). Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB.

Berdasarkan UNCLOS III, tidak hanya negara kepulauan yang mendapatkan hak atas laut teritorial 12 mil dan ZEE 200 mil dari garis pangkal atau garis pantai, tapi semua negara juga mendapatkan hak yang sama. Perbedaannya adalah letak garis pangkal pada negara kepulauan terhitung dari pulau-pulau terluar sedangkan negara lain terhitung dari masing-masing pulau. Lalu bagaimana jika jarak antar negara tidak lebih dari 400 mil yang berarti ada wilayah laut ZEE yang tumpang tindih? Perlu dilakukan penetapan batas maritim antar negara tersebut sesuai dengan peraturan pada UNCLOS III. Indonesia sudah mulai menetapkan batas maritim sejak tahun 1969 dengan Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Sejak itu, beberapa batas maritim juga disepakati dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, Australia,  dan Filipina, meskipun belum tuntas. Sementara itu belum ada batas maritim yang disepakati dengan Palau dan Timor Leste.


Perkembangan penetapan batas maritim antara Indonesia dengan negara-negara tetangga  memerlukan waktu yang lama. Menurut saya, hal ini disebabkan alotnya proses diplomasi antar dua negara pada tahap alokasi oleh arsitek batas karena pada tahap penentuan batas ini melibatkan politik didalamnya. Salah satu contoh nyata adalah belum terselesaikannya penetapan batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia. Kepentingan politik memang tidak dapat dipisahkan dari proses penentuan batas maritim karena menyangkut kedaulatan kedua negara. Namun lambatnya proses penetapan batas maritim dapat memicu konflik karena adanya klaim yang berbeda atas wilayah laut tertentu oleh kedua negara.