Warisan
berharga merupakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi dan letak
geografis Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki laut
yang luas hingga 75% dari luas negara dan garis pantai terpanjang kedua di
dunia. Hal itu membuat Indonesia menyandang predikat sebagai negara bahari. Kata
maritim mulai muncul dan sering dibicarakan setelah terpilihnya Joko Widodo
sebagai presiden Indonesia tahun 2014. Jokowi, begitu panggilan akrabnya,
mengusung visi misi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Poros maritim dunia
yang dimaksud adalah Indonesia yang memiliki letak geografis strategis dalam
jalur pelayaran dunia harus mampu memanfaatkan dan mengelola laut dengan sebaik
mungkin. Seiring dengan upaya kabinet Jokowi mewujudkan visi misinya, perhatian
masyarakat mulai terpaku pada batas maritim Indonesia.
Isu
batas maritim mulai hangat dibicarakan setelah adanya peledakan kapal asing pencuri
ikan di perairan wilayah Pulau Anambas. Peledakan tersebut merupakan perintah
langsung dari Menteri Kelautan dan Perikanan kabinet Jokowi, Susi Pudjiastuti,
sebagai salah satu upaya menjaga kedaulatan NKRI. Opini masyarakat bermunculan
atas peledakan tersebut dan menyebabkan pemberitaan mengenai batas maritim
Indonesia dengan negara-negara tetangga kembali bermunculan.
Kebebasan
dalam berpendapat dalam media sosial memberikan efek pada pemberitaan batas
maritim. Isu batas maritim menjadi hiperbolis, bahkan opini yang kurang
berlandaskan pada fakta menyebar luas. Hal itu menyebabkan rancunya informasi
yang diserap oleh masyarakat umum mengenai kondisi batas maritim Indonesia yang
sebenarnya. Sebagai contoh kasus sengketa Ambalat antara Indonesia dan Malaysia
beberapa tahun silam. Akibat pemberitaan yang kurang tepat, masyarakat menjadi
emosi dan menyatakan keinginan untuk perang melawan Malaysia. Beberapa
masyarakat bahkan berniat untuk pergi ke Ambalat demi memperjuangkan
kedaulatan. Sayangnya Ambalat merupakan kawasan penambangan dan pengelolaan
minyak yang terletak di dasar laut.
Kasus
lain yang sempat menghebohkan adalah isu tentang Indonesia kehilangan Pulau
Sipadan dan Ligitan yang direbut oleh Malaysia. Isu tersebut tak kalah
menggemparkan masyarakat dan membuat opini masyarakat ke Malaysia menjadi
negatif. Hal tersebut mungkin saja merugikan pihak-pihak tertentu akibat opini
masyarakat. Berdasarkan fakta yang diberikan oleh diplomat Indonesia, Arief
Havas Oegroseno, Indonesia tidak kehilangan Pulau Sipadan dan Liditan melainkan
gagal menambahkan kedua pulau tersebut.
Selain
pemberitaan mengenai kasus sengketa, pemberitaan mengenai batas maritim dengan
negara tetangga yang belum terselesaikan hingga saat inipun mencuat.
Pemberitaan-pemberitaan tersebut mengangkat tentang leletnya kinerja pemerintah
dalam melakukan penetapan batas maritim sehingga memicu munculnya sengketa. Pada
teorinya, tahapan penetapan batas matirim terbagi menjadi 4 yakni alokasi,
delimitasi, demarkasi dan administrasi menejemen. Dari keempat tahapan itu,
pemerintah yang berwenang berperan aktif dalam tahap alokasi. Tahap alokasi
merupakan tahap penentuan batas secara politis dengan cara diplomasi antar
negara. Diplomasi tersebut yang memerlukan waktu yang tidak menentu karena
tergantung kepada keputusan masing-masing negara. Tahap alokasi tidak akan
selesai sebelum kedua negara menemui kata sepakat dalam menentukan batas
wilayah.
Pemberitaan
tentang batas maritim yang salah di media sosial dapat merugikan. Maka dari itu
masyarakat Indonesia harus lebih berhat-hati dalam menerima informasi. Selektif
dalam menelan informasi dan disarankan untuk mengambil informasi dari situs
yang terpercaya. Jangan sampai kebebasan media sosial membahayakan masyarakat
akibat opini yang terbentuk.
Note:
Artikel ini adalah opini pribadi untuk kepentingan tugas kuliah. jika ada kesalahan atau menyinggung pihak tertentu. Terimakasih
Note:
Artikel ini adalah opini pribadi untuk kepentingan tugas kuliah. jika ada kesalahan atau menyinggung pihak tertentu. Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar